Kaidah Fiqhiyah
Judul : idza ijtama’a al-hala wa al-haram ghuliba
al-haram
Dosen Pengampu :
Disusun
oleh :
MUHAMMAD
SANUSI (13423119)
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
PRODI EKONOMI ISLAM
2014/2015
Kata Pengantar
Puji dan syukur atas kehadirat alloh SWT yang telah memberikan
petunjuk, rahamat, taufik dan hidayahnya
serta kasih sayangnya sehingga dalam penyusunan makalah ini bisa selesai tepat
pada waktunya. Solawat dan salam untuk nabi Muhammad saw yang telah berjasa
membawa agama alloh untuk seluruh manusia sebagai pedoman untuk berbuat sesuai
dengan prinsip syariah islamiah.
Secara khusus, makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas dari
Bapak Dr. H. Tamyiz Mukharrom, MA , pada mata kuliah Kaidah Fiqhiyah/
al-Maqashid dengan judul “idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghuliba al-haram”.
Secara umum, makalah ini kami susun untuk memberikan pemahaman kepada para
pembaca mengenai penerapan kaidah dalam ekonomi islam.
Ucapan terima kasih kepada teman-teman yang sudah menyempatkan diri
untuk ikut berpartisipasi dalam menyusun makalah ini hingga selesai yang
walaupun banyak kendala-kendala yang harus dihadapi, kami menyadari bahwa itu
juga merupakan buah dari kesuksesan.
Dalam penyusunan makalah ini mungkin masih kurang begitu sempurna
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami juga masih dalam proses
pembelajaran. Untuk keritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Yogyakarta, 12 Jnuari 2015
Penyusun
Pendahuluan
Manusia diciptakan
sebagai makhluk yang paling “baik” dan “indah”. Diberikannya makan untuk yang
pertama kali sejak manusia tiu lahir dengan air susu Ibu yang telah diproses
dari berbagai cairan dan darah yang ada dalam tubuh sang Ibu. Sehingga menjadi minuman
yang segar dan bersih. Menusia dilindungi dengan berbagai makanan yang sehat
dan bersih, sehingga menusia dapat menghindari kelemahan dan kerusakan tubuh.
Untuk menjaga
tubuh dari kelemahan dan kerusakan, Allah juga memberikan batasan-batasan tertentu
kepada hawa nafsunya agar tidak berbuat kerusakan, kekerasab dan kekejaman.
Manusia ditekan dengan berbagai kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah agar
mau mencari rezeki yang halal. Dengan cara memerangi hawa nafsu itulah setan
yang suka mendekati untuk menggoda dan menyesatkan, niscaya terselamatkan.
Sebab setan selalu berupaya menyusup ke berbagai pembuluh darah manusia,
sehingga sulit bagi manusia mendapat
rizki halal yang ada dan beredar di sekelilingnya, bila manusia tidak
memberantas yang haram sampai ke akar-akarnya.
Masalah halal dan
haram begitu sntral dalam pandangan kaum muslimin, hal ini karena ia merupakan
batas antara yang hak dan yang batil, atau lebih jauh antara surga dan neraka.
Halal dan haram akan selalu dihadapi oleh kaum muslimin detik demi detik dalam
rentang kehidupannya. Sehingga menandakan betapa pentingnya kita mengetahui
secara rinci batas antara apa yang halal dan apa yang haram. Mengetahui
persoalan halal dan haram ini kelihatan mudah sepintas, tetapi kemudian menjadi
sangat sukar ketika berhadapan dengan kehidupan keseharian, yang kadang menjadi
kabur, sulit membedakan mana yang halal dan mana yang haram, atau bahkan
menjadi subhat, karena tidak termasuk keduanya, atau karena pencampuran
keduanya.
Pembahasan
Pengertian
1.
كل شيئ لا يعاقب عليه باستعماله
Pengertian yang pertama ini menunjukkan bahwa kata halal menyangkut
kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja untuk memenuhi kebutuhan fisik,
termasuk di dalamnya makanan, minuman, obat-obatan.
2.
ما أطلق الشرع فعله مأخوذ من الحل
Pengertian yang kedua ini berkaitan dengan kebolehan manfaat
memakan, meminum, dan mengerjakan sesuatu yang kesemuanya ditentukan
berdasarkan nash. Halal merupakan sinonim dari mubah dalam wacana hukum syara’
karena seringkali nash menggunakannya.
Pengertian haram, secara etimologis adalah berarti sesuatu yang
dilarang menggunakannya. Dalam istilah Hukum Islam haram bisa dipandang dari
dua segi: pertama, dari segi batasan dan esensinya, dan kedua, dari segi bentuk
dan sifatnya.
Haram merupakan larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan
yang jika dikerjakan berdosa, sedangkan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Haram dibagi menjadi dua, yakni
1.
Haram
lidzatihi adalah perbuatan yang diharamkan karena bahayanya terdapat dalam zat
perbuatan itu sendiri
2.
Haram
lighoirihi adalah perbuatan yang diharamkan selain zatnya
Dalam pembahasan ini tidak akan terlalu memfokuskan pada pemahaman
tentang hukum halal dan haram dalam bagian-bagian tertentu secara terperinci,
akan tetapi bagaimana penerapan diantara hukum yang kedua ini antara halal dan
haram yang jika digabungkan atau disatukan maka apa yang akan terjadi, apakah
hukum berubah menjadi halal atau sebaliknya menjadi haram. Dalam keterkaitan
diantara hukum-hukum tersebut akan dibahas pada kaidah fiqhiyah yang disebut
dalam judul besar makalah ini adalah.
Kaidah fiqh
merupakan sebuah rumusan umum dari beragam persoalan furû’iyah yang tak
terhitung jumlahnya dan memiliki keserupaan ‘illah (ratio legis), yang
mana keserupaan ‘illat itu bersesuaian dengan dalil nash dan
prinsip-prinsip dasar syariat. Hukum-hukum hasil generalisasi itu kemudian
dirumuskan dalam sebuah prinsip dasar yang berfungsi untuk menelaah kembali
persoalan-persoalan lain yang memiliki kesamaan ‘illah, Contohnya, Nabi
saw. pernah bersabda:
ما اجتمع
الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال
“Tidaklah perkara halal dan
haram berkumpul kecuali yang haram akan mengalahkan yang halal. “
Hadits ini
secara tegas menyatakan bahwa, apabila unsur haram dan halal berkumpul dalam
satu persoalan, maka aspek haramnya pasti lebih dominan. Dari sini para ulama
kemudian merumuskan keharaman daging hewan sembelihan yang telah bercampur
dengan daging bangkai, sebab di sini sudah terdapat percampuran (ijtima’) antara
unsur halal dan unsur haram. Daging sembelihan yang pada mulanya adalah halal,
akan menjadi haram gara-gara bercampur dengan daging bangkai yang notabene
haram. Kesimpulan ini merupakan hasil ijtihad ulama saat menggali substansi
hadits Nabi Saw., tersebut.
Hal yang sama
berlaku pada anak binatang yang dilahirkan dari proses pembauran antara induk
(jantan/betina) yang dagingnya halal dimakan, dengan induk lain yang dagingnya
haram dimakan. Anak hasil pembauran itu dihukumi haram karena salah satu
induknya adalah “binatang haram”. Sebab ia tercipta dari hasil percampuran
antara sperma/ovum yang haram dengan yang halal. Dan masih banyak lagi
persoalan-persoalan lain yang memiliki kemiripan karakter dengan dua contoh di
atas, yang mana semua itu menghasilkan satu kesimpulan hukum, yaitu haram.
Penerapan kaidah
Dari beragam
persoalan itulah para fuqaha kemudian merumuskan sebuah kaidah:
إذَا
اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَام
Artinya : apabila sesuatu yang halal berkumpul dengan yang haram,
maka yang menang adalah yang haram.
Penjelasan dari kaidah ini adalah disebabkannya suatu perkara yang
haram itu sudah barang tentu menyimpan kerusakan, baik langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, sebagai langkah prefentif untuk menghindari dari
kerusakan tersebut, ketika suatu barang yang mengandung unsur haram terhadap
semua barang yang telah bersatu tersebut. Dengan kata lain, lebih baik
melepaskan barang yang halal, dari pada mengonsumsi barang haram yang dianggap
halal.
Contoh dari pemberlakuan kaidah ini adalah jika terdapat dua
bejana, bejana yang pertama berisi daging bangkai dan bejana yang kedua berisi
daging sembelihan (mudzakka), sementara kita tidak mengetahui di antara kedua
bejana dimana yang berisi daging yang senbelihan dan didmana daging yang berisi
bangkai. Dalam kondisi demikian, kita tidak boleh mengambil salah satunya hanya
dengan alasan diantara daging itu terdapat daging yang halal. Sebab saat itu
terjadi percampuran antara unsur halal yakni bejana yang berisi daging
semblihan dengan unsur haram yakni bejana yang berisi daging bangkai, maka
ketentuan hukum yang mendominasi adalah pada unsur yang haram.
Dari contoh ini dapat diambil suatu kesimpulan ketika ada suatu
barang atau yang lainnya mengandung unsur halal, akan tetapi pada saat yang
bersamaan tercampur dengan suatu barang yang hukumnya sudah tentu mengandung
unsur haram, maka akan dimenangkan dengan perkara yang haram yang walaupun
kadarnya lebih sedikit dari yang halal.
Sekedar untuk diketahui, sebenarnya terdapat kebalikan kaidah ini,
yaitu
الحرام
لا يحرم الحلال
“ Perkara yang haram tidak dapat mengharamkan perkara yang halal”.
Bunyi kaidah ini sebenarnya adalah petikan hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dan al-Daruquthniy dari Ibnu Umar Ra., yang berarti perkara
yang haram tidak akan pernah merubah materi perkara yang halal menjadi haram.
Pada tahap awal mungkin akan ada pra asumsi adanya kontradiksi antara bunyi
hadis atau kaidah ini dengan redaksi kaidah pertama yang disebutkan dalam awal pembahasan. Namun, secara
substansi dua kaidah yang telah disebutkan ini tidaklah berlawanan, sebagaimana
yang diungkapkan oleh al-Subuki.
Sedangkan makna kaidah idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghuliba
al-haram adalah pemberlakuan status haram pada perkara yang halal sebagai
langkah antisipatif (ihtiyath) atau dapat dikatakan makna ghuliba al-haram ini
hanya sekedar “dominasi” haram terhadap perkara yang halal.
Sebagai bukti, ketika ada keraguan yang dialami seseorang pada saat
hendak menentukan dua keping mata uang, mana yang halal dan mana yang haram. Dalam
kondisi seperti ini, ia diperbolehkan untuk berijtihad untuk menentukan mana
uang yang halal. Seumpama dikatakan perkara yang haram dapat menjadikan perkara
yang halal menjadi haram, tentu tidak ada kesempatan sama sekali untuk
mengambil uang dengan cara berijtihad.
Dalam contoh ini terbukti bahwa yang halal akan tetap dihukumi halal, yang
haram tetap seperti semula.
Pengecualian kaidah:
1. Diperbolehkan
berijtihad untuk menentukan antara bejana yang suci dengan bejana yang najis,
walaupun melakukan tayammum sebagai upaya menghindari keraguan dianggap lebih
baik, karena hal ini oleh para ulama dianggap tindakan yang lebih hati-hati.
2. Diperbolehkan
berijtihad dalam menentukan baju yang suci tetkala tercampur dengan baju najis,
dengan pertimbangan seperti kasus bejana di atas.
3.
Dihalalkan
bagi kaum laki-laki memakai baju yang ditenun dari bahan-bahan campuran,
seperti sutra (haram bagi laki-laki) dengan kapas (halal), dengan catatan jika kain sutra yang digunakan
relatif sedikit dibanding dengan kain kapasnya.
4. Dihalalkan
untuk memakan burung hasil buruan yang terjatuh karena terkena panah atau alat
pemburu lainnya. Huku halal ini tetap berlaku meskipun brurung tersebut mati
setelah jatuh ke tanah. Dalam kasus ini ada dua titik tekan yang berlawanan:
pertama; luka akibat tekena panah adalah
sesuatu yang menghalalkan, kedua; jatuhnya burung tersebut ke tanah merupakan
suatu hal yang mengharamkan. Akan tetapi karena jatuhnya burung ke tanah merupakan suatu hal yang tidak mungkin
dihindari, maka hukumnya dimaafkan.
5.
Diperbolehkan
melakukan transaksi bisnis dengan orang yang mayoritas uangnya adalah uang
haram, dengan catatan bahwa nilai nominal uang halal dan uang haram itu tidak
diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Namun, hal ini menurut alGhazali
hukumnya tetap haram sebagai langkah (berhati-hati). Pendapat senada juga
pernah ditegaskan oleh ‘Izzuddin bin Abd al-Salam dan Adzra’i.
6. Dimakruhkan
menerima pemberian pemerintah yang telah diketahui bahwa mayoritas uangnya
adalah haram, jika memang penerima belum sampai tahap yakin bahwa apa yang
diterimanya diperoleh dengan cara-cara haram. Jika diyakini uang itu memang
benar-benar diperoleh dengan cara haram, seperti korupsi, pungli (pungutan
liar), dan lain sebagainya, ataupun diambil dari perbuatan maksiat, maka hukum
menerimanya haram.
7. Kambing
yang pernah memakan barang haram (milik orang lain), susu dan dagingnya
dihukumi halal, walaupun barang haram itu telah bercampur dengan daging dan
susunya. Dalam kasus seperti ini, pemilik hewan sebenarnya diwajibkan mengganti
rugi segala sesuatu yang telah dimakan kambingnya. Namun al-Ghazali
menyarankan agar kita tidak memakannya. Sebab menurut sang Hujjah al-Islam
ini, tidak memakan daging atau meminum susu. kambing tersebut merupakan tindakan
warâ’.
Penutup
Kesimpulan
Dari pembahasan ini kita dapat mengambil suatu kesimpulan
diantarnya adalah sebagai berikut:
Pengertian tentang halal dalam pembahsan ini ada dua yaitu, yang
pertama ini menunjukkan bahwa kata halal menyangkut kebolehan menggunakan
benda-benda atau apa saja untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasuk di dalamnya
makanan, minuman, obat-obatan. Pengertian yang kedua ini berkaitan dengan
kebolehan manfaat memakan, meminum, dan mengerjakan sesuatu yang kesemuanya
ditentukan berdasarkan nash. Halal merupakan sinonim dari mubah dalam wacana
hukum syara’ karena seringkali nash menggunakannya.
Haram merupakan larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan
yang jika dikerjakan berdosa, sedangkan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Haram dibagi menjadi dua, yakni
1. Haram
lidzatihi adalah perbuatan yang diharamkan karena bahayanya terdapat dalam zat
perbuatan itu sendiri
2.
Haram
lighoirihi adalah perbuatan yang diharamkan selain zatnya
Penjelasan dari kaidah idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghuliba al-haram
adalah disebabkannya suatu perkara yang haram itu sudah barang tentu menyimpan
kerusakan, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sebagai
langkah prefentif untuk menghindari dari kerusakan tersebut, ketika suatu
barang yang mengandung unsur haram terhadap semua barang yang telah bersatu
tersebut. Dengan kata lain, lebih baik melepaskan barang yang halal, dari pada
mengonsumsi barang haram yang dianggap halal.
Daftar Pustaka
Karim, Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2013
portalgaruda.org/article.php?article=149582&val=5885&title=HALAL
DAN HARAM MENURUT AL-GHAZALI DALAM KITAB MAU’IDHOTUL
http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2009/08/10/688/kaidah-halal-dan-haram-1/
Ending dari makalah sebelum kesimpulan nya keren. Yaitu klimaks pembahasan ketika bertemunya 2 kaidah yang seakan berlawanan, namun bisa d fahamkan dengan kebijaksanaan
BalasHapus