Selasa, 14 April 2015

KAIDAH idza ijtama’a al-hala wa al-haram ghuliba al-haram



Kaidah Fiqhiyah
Judul : idza ijtama’a al-hala wa al-haram ghuliba al-haram
Dosen Pengampu :

                                                 Dr. H. Tamyiz Mukharrom, MA



  Disusun oleh :

                     MUHAMMAD SANUSI  (13423119)


UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
PRODI EKONOMI ISLAM
2014/2015



Kata Pengantar
Puji dan syukur atas kehadirat alloh SWT yang telah memberikan petunjuk, rahamat,  taufik dan hidayahnya serta kasih sayangnya sehingga dalam penyusunan makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Solawat dan salam untuk nabi Muhammad saw yang telah berjasa membawa agama alloh untuk seluruh manusia sebagai pedoman untuk berbuat sesuai dengan prinsip syariah islamiah.
Secara khusus, makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr. H. Tamyiz Mukharrom, MA , pada mata kuliah Kaidah Fiqhiyah/ al-Maqashid dengan judul “idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghuliba al-haram”. Secara umum, makalah ini kami susun untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca mengenai penerapan kaidah dalam ekonomi islam.
Ucapan terima kasih kepada teman-teman yang sudah menyempatkan diri untuk ikut berpartisipasi dalam menyusun makalah ini hingga selesai yang walaupun banyak kendala-kendala yang harus dihadapi, kami menyadari bahwa itu juga merupakan buah dari kesuksesan.
Dalam penyusunan makalah ini mungkin masih kurang begitu sempurna kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami juga masih dalam proses pembelajaran. Untuk keritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Yogyakarta, 12 Jnuari 2015

Penyusun

Pendahuluan
            Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling “baik” dan “indah”. Diberikannya makan untuk yang pertama kali sejak manusia tiu lahir dengan air susu Ibu yang telah diproses dari berbagai cairan dan darah yang ada dalam tubuh sang Ibu. Sehingga menjadi minuman yang segar dan bersih. Menusia dilindungi dengan berbagai makanan yang sehat dan bersih, sehingga menusia dapat menghindari kelemahan dan kerusakan tubuh.
            Untuk menjaga tubuh dari kelemahan dan kerusakan, Allah juga memberikan batasan-batasan tertentu kepada hawa nafsunya agar tidak berbuat kerusakan, kekerasab dan kekejaman. Manusia ditekan dengan berbagai kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah agar mau mencari rezeki yang halal. Dengan cara memerangi hawa nafsu itulah setan yang suka mendekati untuk menggoda dan menyesatkan, niscaya terselamatkan. Sebab setan selalu berupaya menyusup ke berbagai pembuluh darah manusia, sehingga sulit bagi manusia mendapat  rizki halal yang ada dan beredar di sekelilingnya, bila manusia tidak memberantas yang haram sampai ke akar-akarnya.
            Masalah halal dan haram begitu sntral dalam pandangan kaum muslimin, hal ini karena ia merupakan batas antara yang hak dan yang batil, atau lebih jauh antara surga dan neraka. Halal dan haram akan selalu dihadapi oleh kaum muslimin detik demi detik dalam rentang kehidupannya. Sehingga menandakan betapa pentingnya kita mengetahui secara rinci batas antara apa yang halal dan apa yang haram. Mengetahui persoalan halal dan haram ini kelihatan mudah sepintas, tetapi kemudian menjadi sangat sukar ketika berhadapan dengan kehidupan keseharian, yang kadang menjadi kabur, sulit membedakan mana yang halal dan mana yang haram, atau bahkan menjadi subhat, karena tidak termasuk keduanya, atau karena pencampuran keduanya.

Pembahasan
Pengertian
1.    كل شيئ لا يعاقب عليه باستعماله
Pengertian yang pertama ini menunjukkan bahwa kata halal menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasuk di dalamnya makanan, minuman, obat-obatan.
2.    ما أطلق الشرع فعله مأخوذ من الحل
Pengertian yang kedua ini berkaitan dengan kebolehan manfaat memakan, meminum, dan mengerjakan sesuatu yang kesemuanya ditentukan berdasarkan nash. Halal merupakan sinonim dari mubah dalam wacana hukum syara’ karena seringkali nash menggunakannya.
Pengertian haram, secara etimologis adalah berarti sesuatu yang dilarang menggunakannya. Dalam istilah Hukum Islam haram bisa dipandang dari dua segi: pertama, dari segi batasan dan esensinya, dan kedua, dari segi bentuk dan sifatnya.
Haram merupakan larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan yang jika dikerjakan berdosa, sedangkan jika ditinggalkan mendapat pahala. Haram dibagi menjadi dua, yakni
1.      Haram lidzatihi adalah perbuatan yang diharamkan karena bahayanya terdapat dalam zat perbuatan itu sendiri
2.      Haram lighoirihi adalah perbuatan yang diharamkan selain zatnya
Dalam pembahasan ini tidak akan terlalu memfokuskan pada pemahaman tentang hukum halal dan haram dalam bagian-bagian tertentu secara terperinci, akan tetapi bagaimana penerapan diantara hukum yang kedua ini antara halal dan haram yang jika digabungkan atau disatukan maka apa yang akan terjadi, apakah hukum berubah menjadi halal atau sebaliknya menjadi haram. Dalam keterkaitan diantara hukum-hukum tersebut akan dibahas pada kaidah fiqhiyah yang disebut dalam judul besar makalah ini adalah.



Kaidah fiqh merupakan sebuah rumusan umum dari beragam persoalan furû’iyah yang tak terhitung jumlahnya dan memiliki keserupaan ‘illah (ratio legis),  yang mana keserupa­an ‘illat itu bersesuaian dengan dalil nash dan prinsip-prinsip dasar syariat. Hukum-hukum hasil generalisasi itu kemudian dirumuskan dalam sebuah prinsip dasar yang berfungsi untuk menelaah kembali persoalan-­persoalan lain yang memiliki kesamaan ‘illah, Contohnya, Nabi saw. pernah bersabda:



ما اجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال
“Tidaklah perkara halal dan haram berkumpul kecuali yang haram akan mengalahkan yang halal. “
Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa, apabila unsur haram dan halal berkumpul dalam satu persoalan, maka aspek haramnya pasti lebih dominan. Dari sini para ulama kemudian merumuskan keharam­an daging hewan sembelihan yang telah bercampur dengan daging bangkai, sebab di sini sudah terdapat percampuran (ijtima’) antara unsur halal dan unsur haram. Daging sembelihan yang pada mulanya adalah halal, akan menjadi haram gara-gara bercampur dengan daging bangkai yang notabene haram. Kesimpulan ini merupakan hasil ijtihad ulama saat menggali substansi hadits Nabi Saw., tersebut.
Hal yang sama berlaku pada anak binatang yang dilahirkan dari proses pembauran antara induk (jantan/betina) yang dagingnya halal dimakan, dengan induk lain yang dagingnya haram dimakan. Anak hasil pembauran itu dihukumi haram karena salah satu induknya adalah “binatang haram”. Sebab ia tercipta dari hasil percampuran antara sperma/ovum yang haram dengan yang halal. Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang memiliki kemiripan karakter dengan dua contoh di atas, yang mana semua itu menghasilkan satu kesimpulan hukum, yaitu haram.
Penerapan kaidah
Dari beragam persoalan itulah para fuqaha kemudian merumus­kan sebuah kaidah:
إذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَام
Artinya : apabila sesuatu yang halal berkumpul dengan yang haram, maka yang menang adalah yang haram.
Penjelasan dari kaidah ini adalah disebabkannya suatu perkara yang haram itu sudah barang tentu menyimpan kerusakan, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sebagai langkah prefentif untuk menghindari dari kerusakan tersebut, ketika suatu barang yang mengandung unsur haram terhadap semua barang yang telah bersatu tersebut. Dengan kata lain, lebih baik melepaskan barang yang halal, dari pada mengonsumsi barang haram yang dianggap halal.
Contoh dari pemberlakuan kaidah ini adalah jika terdapat dua bejana, bejana yang pertama berisi daging bangkai dan bejana yang kedua berisi daging sembelihan (mudzakka), sementara kita tidak mengetahui di antara kedua bejana dimana yang berisi daging yang senbelihan dan didmana daging yang berisi bangkai. Dalam kondisi demikian, kita tidak boleh mengambil salah satunya hanya dengan alasan diantara daging itu terdapat daging yang halal. Sebab saat itu terjadi percampuran antara unsur halal yakni bejana yang berisi daging semblihan dengan unsur haram yakni bejana yang berisi daging bangkai, maka ketentuan hukum yang mendominasi adalah pada unsur yang haram.
Dari contoh ini dapat diambil suatu kesimpulan ketika ada suatu barang atau yang lainnya mengandung unsur halal, akan tetapi pada saat yang bersamaan tercampur dengan suatu barang yang hukumnya sudah tentu mengandung unsur haram, maka akan dimenangkan dengan perkara yang haram yang walaupun kadarnya lebih sedikit dari yang halal.
Sekedar untuk diketahui, sebenarnya terdapat kebalikan kaidah ini, yaitu
الحرام لا يحرم الحلال
“ Perkara yang haram tidak dapat mengharamkan perkara yang halal”.
Bunyi kaidah ini sebenarnya adalah petikan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Daruquthniy dari Ibnu Umar Ra., yang berarti perkara yang haram tidak akan pernah merubah materi perkara yang halal menjadi haram. Pada tahap awal mungkin akan ada pra asumsi adanya kontradiksi antara bunyi hadis atau kaidah ini dengan redaksi kaidah pertama yang disebutkan  dalam awal pembahasan. Namun, secara substansi dua kaidah yang telah disebutkan ini tidaklah berlawanan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Subuki.
Sedangkan makna kaidah idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghuliba al-haram adalah pemberlakuan status haram pada perkara yang halal sebagai langkah antisipatif (ihtiyath) atau dapat dikatakan makna ghuliba al-haram ini hanya sekedar “dominasi” haram terhadap perkara yang halal.
Sebagai bukti, ketika ada keraguan yang dialami seseorang pada saat hendak menentukan dua keping mata uang, mana yang halal dan mana yang haram. Dalam kondisi seperti ini, ia diperbolehkan untuk berijtihad untuk menentukan mana uang yang halal. Seumpama dikatakan perkara yang haram dapat menjadikan perkara yang halal menjadi haram, tentu tidak ada kesempatan sama sekali untuk mengambil uang  dengan cara berijtihad. Dalam contoh ini terbukti bahwa yang halal akan tetap dihukumi halal, yang haram tetap seperti semula.
Pengecualian  kaidah:
1.   Diperbolehkan berijtihad  untuk menentukan antara  bejana yang suci dengan bejana yang najis, walaupun melakukan tayammum sebagai upaya menghindari keraguan dianggap lebih baik, karena hal ini oleh para ulama dianggap tindakan yang lebih hati-hati.
2.    Diperbolehkan berijtihad dalam menentukan baju yang suci tetkala tercampur dengan baju najis, dengan pertimbangan seperti kasus bejana di atas.
3.      Dihalalkan bagi kaum laki-laki memakai baju yang ditenun dari bahan-bahan campuran, seperti sutra (haram bagi laki-laki) dengan kapas (halal),  dengan catatan jika kain sutra yang digunakan relatif sedikit dibanding dengan kain kapasnya.
4.    Dihalalkan untuk memakan burung hasil buruan yang terjatuh karena terkena panah atau alat pemburu lainnya. Huku halal ini tetap berlaku meskipun brurung tersebut mati setelah jatuh ke tanah. Dalam kasus ini ada dua titik tekan yang berlawanan: pertama;  luka akibat tekena panah adalah sesuatu yang menghalalkan, kedua; jatuhnya burung tersebut ke tanah merupakan suatu hal yang mengharamkan. Akan tetapi karena jatuhnya burung ke tanah  merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari, maka hukumnya dimaafkan.
5.     Diperbolehkan melakukan transaksi bisnis dengan orang yang mayoritas uangnya adalah uang haram, dengan catatan bahwa nilai nominal uang halal dan uang haram itu tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Namun, hal ini menurut al­Ghazali hukumnya tetap haram sebagai langkah (berhati-hati). Pendapat senada juga pernah ditegaskan oleh ‘Izzuddin bin Abd al-Salam dan Adzra’i.
6.    Dimakruhkan menerima pemberian pemerintah yang telah diketahui bahwa mayoritas uangnya adalah haram, jika memang penerima belum sampai tahap yakin bahwa apa yang diterimanya diperoleh dengan cara-cara haram. Jika diyakini uang itu memang benar-benar diperoleh dengan cara haram, seperti korupsi, pungli (pungutan liar), dan lain sebagainya, ataupun diambil dari perbuatan maksiat, maka hukum meneri­manya haram.
7.    Kambing yang pernah memakan barang haram (milik orang lain), susu dan dagingnya dihukumi halal, walaupun barang haram itu telah bercampur dengan daging dan susunya. Dalam kasus seperti ini, pemilik hewan sebenarnya diwajibkan meng­ganti rugi segala sesuatu yang telah dimakan kambing­nya. Namun al-Ghazali menyarankan agar kita tidak memakan­nya. Sebab menurut sang Hujjah al-Islam ini, tidak memakan daging atau meminum susu. kambing tersebut merupakan tin­dakan warâ’.






Penutup

Kesimpulan
Dari pembahasan ini kita dapat mengambil suatu kesimpulan diantarnya adalah sebagai berikut:
Pengertian tentang halal dalam pembahsan ini ada dua yaitu, yang pertama ini menunjukkan bahwa kata halal menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasuk di dalamnya makanan, minuman, obat-obatan. Pengertian yang kedua ini berkaitan dengan kebolehan manfaat memakan, meminum, dan mengerjakan sesuatu yang kesemuanya ditentukan berdasarkan nash. Halal merupakan sinonim dari mubah dalam wacana hukum syara’ karena seringkali nash menggunakannya.
Haram merupakan larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan yang jika dikerjakan berdosa, sedangkan jika ditinggalkan mendapat pahala. Haram dibagi menjadi dua, yakni
1.    Haram lidzatihi adalah perbuatan yang diharamkan karena bahayanya terdapat dalam zat perbuatan itu sendiri
2.      Haram lighoirihi adalah perbuatan yang diharamkan selain zatnya
Penjelasan dari kaidah idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghuliba al-haram adalah disebabkannya suatu perkara yang haram itu sudah barang tentu menyimpan kerusakan, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sebagai langkah prefentif untuk menghindari dari kerusakan tersebut, ketika suatu barang yang mengandung unsur haram terhadap semua barang yang telah bersatu tersebut. Dengan kata lain, lebih baik melepaskan barang yang halal, dari pada mengonsumsi barang haram yang dianggap halal.


Daftar Pustaka
Karim, Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013
portalgaruda.org/article.php?article=149582&val=5885&title=HALAL DAN HARAM MENURUT AL-GHAZALI DALAM KITAB MAU’IDHOTUL
http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2009/08/10/688/kaidah-halal-dan-haram-1/
 

1 komentar:

  1. Ending dari makalah sebelum kesimpulan nya keren. Yaitu klimaks pembahasan ketika bertemunya 2 kaidah yang seakan berlawanan, namun bisa d fahamkan dengan kebijaksanaan

    BalasHapus